Hari itu langit dipenuhi oleh rona kegelapan. Pertanda malam datang. Jam dinding menunjukkan pukul 20.00 WIB. Sepasang suami-istri tengah berbicara hangat di ruang pribadi mereka. Keduanya menyiratkan raut muka bahagia. Sang istri tengah memasangkan dasi di kerah sang suami, dan sang suami yang melemparkan beberapa untaian kalimat manis, sehingga membuat sang istri tersipu malu.
โSudah ish gombalannya!โ Sang istri mundur satu langkah, tugasnya memasangkan dasi telah selesai. โHahaha, aku sayang kamu, Regita,โ ungkap Sang Suami. Muka merah Regitaโsang istri masih terpancar. Ia menjawab, โGombal mulu, udah buruan. Supir kamu sudah nungguin di depan.โ Regita mendorong pelan suaminya hingga mendekati pintu kamar mereka. Regita memindahkan koper yang semula berada di tangannya ke genggaman pria itu. โAku serius, i love you till the end my beautiful wife,โ ungkapnya lagi. โI love you for forever, Yesra,โ balas Regita dengan suara yang lembut. Yesraโsang suami, mengecup lembut kening istrinya. Ia lalu memegang dahan pintu dan membukanya.
Hildanโbocah berumur 11 tahun menunggu keduanya, ditemani bayi berwajah mungil yang tertidur pulas di kereta bayi. Bayi cantik itu merupakan anak kedua dari mereka yang bernama Nadhira Tsabita Lastari. Sedangkan Hildan merupakan putra sulung pasangan Yesra dan Regita.
โPapaaaaa,โ teriak Hildan. Ia berlari menuju pelukan Yesra, yang langsung disambut hangat olehnya. Hildan mendongak, โPa janji ya, nanti disana beliin Hildan kapal-kapalan yang paling keren kata Papa itu.โ Yesra mengusap lembut pucuk kepala putranya, โSiap, kapten!โ jawab Yesra berlagak seolah-olah prajurit yang patuh pada komandannya.
"Hildan aja nih yang dibawakan oleh-oleh, mama dan Nadhira enggak?" sindir Regita sembari berjalan melalui keduanya dan menuju kereta bayi.
"Oke, fine," lanjutnya. Regita mendorong pelan kereta bayi itu menuju depan rumah mereka untuk menghampiri Taksi yang tadi mereka pesan. Hildan mengikuti langkah mamanya. Tersisa Yesra yang harus kembali ke kamar untuk mengambil sesuatu yang tertinggal.
"Sebentar ya pak," kata Regita pada supir. Raut mukanya terlihat gusar, tangannya bersedekap di depan dada. "Duh, papamu mana sih, hil?"
Wanita itu menilik jam yang ada di pergelangan tangannya untuk memeriksa sisa waktu.
"1 jam lagi keberangkatan pesawatnya," lanjutnya.
"Ada barang yang tertinggal katanyaโ nah itu papa," jawab Hildan sembari meunjuk pria yang membawa satu koper besar beroda, satu koper kecil yang sudah disiapkan Regita sebelumnya, dan bando bunga matahari yang ada di genggamannya.
"Untuk putri kecilku yang tercantik.โ
Yesra memasangkan benda itu diatas kepala bayi cantik yang tengah tertidur pulas.Bando itu melingkar sempurna membuat Yesra mengelus lembut pucuk kepala putrinya.
โNak, meski papa tidak berada disisimu nanti, tumbuh dengan baik seperti bunga matahari ya, sayang. Papa menyayangimu."
Yesra mengecup singkat dahi Nadhira.
"Jangan ngomong begitu pa! Walau kamu nanti berada di Belanda selama dua bulan, kan masih bisa terhubung dengan kita. Telepon bisa, kirim chat bisa, jangan ngomong gitu lagi ah!โ cerca Regita. Hatinya tercenung saat Yesra mengatakan kalimat walau ia tidak ada disisinya.
"Papa ngomong gitu seakan mau pergi jauh," ucap Hildan menatap sendu ke arah Yesra yang beranjak berdiri. Laki-laki itu tersenyum, ia kembali berlutut dihadapan putranya dan menggenggam tangannya. "Hildan, dengerin papa ya," ucapnya lembut.
โUntuk mama juga,โ ia melirik sekilas istrinya. Mata Regita berkaca-kaca, hatinya tak tenang, tapi ia melangitkan doa keselamatan untuk suaminya selama bertugas.
"Papa kan memang mau pergi jauh, ke Belanda hingga lintas benua. Biar bisa beliin mainan yang banyak buat Hildan dan adik Nadhira, biar bisa checkout in belanjaan mama di shopuyโaw!โ
Regita spontan menepuk bahu Yesra. โJanji sama Papa, Hildan sebagai kakak dan anak pertama, walinya Papa, nanti selama Papa tidak ada di rumah mama Regita dan adek Nadhira dijaga dengan baik ya.โ Ia mengelus lembut pucuk kepala Hildan.
Hildan mengangguk. "Papa janji juga kan bakal pulang?" tanya Hildan.
Yesra terkekeh geli mendengar ucapan putranya. Ia menautkan kelingking Hildan untuk membuat janji. "Janji sayang. Kecuali kalo papa kecantol sama noni-noni disana, kke-kkeโโ
Plak
"Aw! Sakit sayang."
Regita menepuk keras pundak suaminya. "Udah halunya! sana ditungguin pak supir.โ
Beep
Beep
Klakson taksi berbunyi. Yesra bangkit dan berpamitan lagi secara baik-baik pada keluarga kecilnya., Yesra melambaikan tangan saat sudah berada di dalam mobil. Taksi melaju secara perlahan. "Jangan lupa kabari kalau sudah mendarat di sana," pesan Regita.
Taksi itu lambat laun semakin cepat, membelah jalanan, meninggalkan pekarangan rumah menuju Bandara.
2 bulan kemudian....
Pagi yang cerah menyapa kota Apel. Hildan tengah merapikan bunga-bunga yang mempunyai bagian daun yang sudah kering, ditemani oleh bayi cantik Nadhira yang tertidur pulas di kereta bayi. Regita, ibu mereka, berada tak jauh dari sana. Telepon genggamnya menempel di daun telingannya. Ia tengah berbicara dengan seseorang.
"Bunga tulip untukku, jangan lupa."
"..."
Regita tersenyum. "Mainan yang diinginkan Hildan juga jangan lupa kau bawa."
"..."
Regita tersenyum kembali. Senang hati rasanya bisa mengobrol dengan pujaan hatinyaโ Yesra, yang kini berada di Belanda. "Thank you my sweet honey. Kamu bawakan Apa untuk putri kecil kita?" tanya Regita.
"..."
"Hmm, sudah tidak kaget dengan bunga kesayanganmu itu, matahari."
"..."
Regita terkekeh kecil, "Hhhh... iya,iya. Hati-hati di perjalanan, mas. I love you."
"..."
Regita tertegun, ia memegang dada kanannya dan tersenyum kecil. Mendengar suaminya mengatakan i love you till the end disebrang sana terkesan begitu romantis, namun ada hal lain yang menembus dadanya. Seperti menyiratkan arti yang begitu dalam.
"Ya sudah aku tutup dulu ya telfonnya. Pengumuman keberangkatan sudah terdengar," ucap Yesra dari sebrang yang menyadarkan lamunan istrinya. Panggilan mereka pun berakhir.
Setelah panggilan diakhiri, Regita menghampiri kedua buah hatinya dan menyampaikan kabar bahagia bahwa papanya akan segera pulang. Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu tiba. Papanya akan kembali ke tanah air. Hildan langsung bersorak gembira, dan seperti biasa bayi cantik itu hanya tertidur lelap, tetapi kali ini birai wajahnya menampilkan seulam senyuman.
Matahari semakin meninggi tepat diatas kepala, hari semakin siang. Seperti biasa Hildan tengah berada di ruang keluarga, duduk manis di depan televisi tengah menyaksikan animasi kesayangannya. Sedangkan Regita berjalan kesana-kemari dengan membopong bayi cantik yang sejak dua puluh menit yang lalu rewel. Tangisan Nadhira membuncah semakin membuat ibu dua anak itu kebingungan untuk menenangkannya.
Ya Allah, ini jika ada Mas Yesra akan lebih mudah. Batinnya.
Memang benar seandainya ada suaminya saat ini itu akan lebih memudahkan Regita menenangkan Nadhira. Karena seperti biasanya apabila bayi kecil itu rewel, maka ia akan kembali tenang apabila sudah ada di dekapan papanyaโ Yesra.
"Breaking News, Berita Sela. Mustika TV melaporkan kejadian mengenaskan. Kecelakaan pesawat Elang Airways jatuh sehingga menewaskan sejauh ini 150 orangโ"
Regita yang tengah menenangkan buah hatinya mengalihkan atensinya pada berita sela.
Deg.
Sesuatu seperti menghantam dadanya. Mata nya membesar dan berkaca, siap meluncurkan buliran air mata.
"YA ALLAH.โ Regita menjerit histeris tak percaya.
โPesawat yang terbang dari Amsterdam dan akan mendarat di Indonesia jatuh akibat kesalahan pilot yang masih dalam pengaruh alkohol saat mengemudi,โ lanjut Reporter masih melaporkan kejadian.
โMAS YESRAAA,โ teriaknya lagi. Ia langsung merosot ke bawah, terduduk lemas. Firasat buruknya akhirnya menjadi nyata. Tangisan Regita pecah, bersahutan dengan tangisan Nadhira yang semakin mengencang.
"Kenapa ma?" Tanya Hildan yang heran dengan reaksi mamanya yang dianggap berlebihan. Pasalnya setiap bocah laki-laki itu menonton animasi kesayangannya dan tiba-tiba ada berita sela, terlebih kecelakaan, mamanya tak pernah bereaksi histeris seperti ini.
Hiks.
"PA-PA- PAPAMU HILDAN," ucap Regita masih berteriak histeris. Dadanya mulai terhimpit, ia merasa sesak. Buliran air mata bercucur deras. Bagai tersambar petir, Hildan sontak tercenung. Ia mencerna apa yang tengah terjadi. Tangis Regita semakin menjadi. Tangisnya menderu-deru dengan kencangnya lebih kencang mengalahi tangisan Nadhira. Para tetangga yang mendengar menghampiri rumah mereka.
โBu Regita, ya allah, ada Apa?โ tanya Bu Sriโtetangga sebelah mereka dengan raut khawatir.
Dada Regita semakin sesak, ia terhuyung lemas tak sadarkan diri. Para tetangga semakin panik dan menghampiri Regita yang pingsan. Bu Warniโtetangga depan rumah langsung mengambil alih bayi mungil yang berada di gendongannya. โSebenarnya ada apa toh ini, nak Hildan?โ tanya bu Warni.
Mata Hildan berkaca. Televisi sudah kembali menampilkan animasi kesayangannya dengan nuansa ceria, tetapi tidak dengan hati Hildan. Dadanya turut sesak, kejadian tiba-tiba merenggut kebahagian yang ia miliki. โT-t-tadi ada berita pesawat jatuh, papa sudah t-t-tidak ada,โ terangnya setegar mungkin.
โInnalilahi wa innalilahi rojiโun.โ
โฆ
15 tahun kemudianโฆ
"Tumbuh dengan baik, bersinar seperti bunga matahari. Kamu pasti bisa melalui semuanya."
"Huh!"
Nadhira terbangun dari alam mimpi. Ia menengok ke samping, melihat Regitaโ mamanya yang ikut tergelak kaget saat putrinya yang kini sudah beranjak remaja tiba-tiba terbangun. "Kenapa sayang? Kamu mimpi buruk lagi?" tanyanya lembut. Ia membelai pundak Nadhira. Nadhira menggeleng, tiba-tiba ia menangis. Raut Regita menjadi panik.
"Ada apa sayang? Cerita sama mama."
Masih sesenggukkan Nadhira menjawab, "Na-Na-Nadhira mimpi papa, ma. Nadhira pi-pi-pingin ketemu papa."
Hati Regita mencelos mendengar pengakuan putrinya. Dalam hatinya ia merutuki kondisi ekonomi yang ia rasakan sekarang. Yesra dimakamkan di tempat asalnya, Manado. Waktu itu Nadhira hanya satu kali mengunjungi tempat peristirahatan terakhir mendiang ayahnya. Semenjak itu sampai detik ini Regita dan kedua buah hatinya belum pernah kesana, karena biaya ongkos Malang ke Manado tidaklah sedikit.
Hiks. Hiks.
"N-nadhira pingin ma hidup ditemani sosok ayah. Nadhira capek tiap hari selalu jadi bahan ledekan temen-temenโ hiks, hanya karena Nadhira gak punya ayah.Walau niatnya bercanda, hiksโ tapi tetap aja nyakitin."
Hati Regita semakin tertusuk. Ia pun mendekap erat putrinya. Beberapa bulan kemudian Regita memutuskan untuk menikah lagi. Harapannya ialah agar Nadhira bahagia mempunyai sosok ayah yang menemani pertumbuhannya. Tetapi itu hanyalah sekadar harapan. Sampai di hari itu.
Nadhira menambahkan pupuk kompos pada tumbuhan bunga mataharinya yang ia tanam di taman. Ia tersenyum. "Pa, sekarang Nadhira baik-baik saja. Nadhira nanti akan mengikuti audisi menyanyi pa, doakan lancar ya."
Ia mengambil guci yang berisi air dan menyirami bunga mataharinya. "Pa Nadhira sekarang punya papa baru. Tapi Nadhira takut, doakan semua baik-baik saja ya."
Ia tersenyum getir. Dan pergi masuk ke dalam rumah untuk mengambil tas gitarnya. Tas gitar sudah terselampir rapi di bahunya, ia pun berpamitan pada Hardiโ papa barunya.
"Gak boleh! Buat apa ikutan audisi begituan, ga jelas."
Hardi menepis kasar tangan Nadhira yang hendak menciumnya.
"Saya punya hak atas hal itu. Jadi jangan halangi saya!" balas Nadhira. Sorot matanya tajam menatap lawan bicaranya. Kali ini ia benar-benar muak dengan perangai Hardi yang seolah-olah menjadi penguasa semuanya.
"KAMU INI!" ucapnya dengan suara lantang. Kali ini emosi Hardi ikut tersulut. Ia berdiri.
"Enggak ada sopan-sopannya sama orangtua. Saya ini bapak kamu!" katanya tegas.
"Sampai kapanpun anda bukan ayah saya, pak Harโ"
Plak. Tamparan keras melayang mulus di pipi Nadhira. Darah segar mengalir di sudut bibirnya.
"Anak gak tahu diri. Ikut saya!"
Hardi menarik paksa Nadhira dan membawanya menuju ke gudang belakang rumah. Nadhira meronta-meronta. Dia ingin melepas tarikan itu, tetapi cengkraman Hardi kuat sekali. "Lepaskan saya Pak Hardi! Tolong," pintanya setengah berteriak di akhir kata untuk meminta pertolongan.
Jarak antara gudang dengan ruang keluarga, tempat mereka beradu mulut jauh sekali. Nadhira menahan sakitnya cengkraman Hardi hingga tenaganya sudah lemas sekali rasanya. Bibirnya kelu. Tak tahu siapa yang akan menolongnya? Ibunyaโ Regita dan kakaknyaโ Hildan sedang tidak ada di rumah. Para tetangga pun tidak ada yang mendengar teriakan Nadhira memohon pertolongan.
Pintu gudang sudah terlihat di depan mata. Pintu yang tidak terkunci itu dibuka seketika oleh Hardi saat mereka tiba disana. Ia mendorong Nadhira sampai tersungkur. Hardi mengikat tangan Nadhira dengan tali putih yang cukup kuat. Nadhira masih berontak dengan sisa-sisa tenaganya. "Lepasin saya, brengsek!"
Plester hitam ia tempelkan ke bibir Nadhira agar mengatup. Gadis itu pun terbungkam tak mampu mengeluarkan sepatah kata-kata. Hardi terbahak. "Menyingkirlah kamu yang hendak menghalangi langkah saya!"
Nadhira masih berontak dengan suara yang tidak jelas karena terbekap oleh plester hitam yang menghalangi. Tapi apa daya usahanya telah sia-sia. Pintu gudang kembali tertutup. Dan kali ini Hardi menguncinya dari luar. Dan berakhirlah kehidupan indah yang diimpikan Nadhira. Langkahnya di audisi tinggal satu babak lagi. Tetapi Hardi yang berlagak seperti pemegang penuh kuasa membuat gadis itu lagi-lagi mengubur mimpinya.
Dada Nadhira sesak. Benih crystal meluncur dengan derasnya. Ia menangis di tengah keheningan. Nadhira merindukan papanya, Yesra. Baginya cinta yang Yesra berikan tak bisa menandingi siapapun.
โMaaf pa. Nadhira gagal lagi โtuk bersinar.โ
Bionarasi:
Penulis Icha Rahmawati mempunyai nama pena Icha Arunika. Ia lahir tepatnya di kota Pahlawan, Indonesia. Sedari ia duduk di bangku SMK ia tertarik menekuni bidang kepenulisan. Salah satu motto hidupnya ialah, โTekad yang kuat akan membawa pada keberhasilan.โ Jejaknya bisa ditelusuri di akun Instagram pribadinya: @channikaaxie dan @dailyc.arunika yang merupakan akun khusus kepenulisan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar